Senin, 18 Mei 2009

Kesenian Dongkrek Asli Mejayan

Dongkrek merupakan kesenian khas Madiun yang kian sering tampil pada ajang festival seni prestisius di kota-kota besar.

Ditampilkannya seni dongkrek dalam perhelatan itu kiranya bukan tanpa alasan. Betapa ancaman bencana, baik bencana lingkungan maupun kehidupan, bisa mengintip wilayah mana saja di bumi ini. Nah, seni dongkrek, secara filosofis, memiliki makna dan fungsi tolak bala. Sehingga, penampilan seni ini sangat diperlukan agar arena perhelatan seni dan tanah sekelilingnya diselamatkan dari bencana dan mara bahaya.
Atraksi kesenian dongkrek, yang malam itu dipertunjukkan Paguyuban Dongkrek Krido Sakti dari Desa Mejayan Kecamatan Mejayan, Caruban - Madiun, memang menimbulkan kesan berbeda dari seni pertunjukan yang lain; angker dan magis. Irama musik tradisional yang semula sayup-sayup lalu kian menghentak bertalu-talu, makin memberi kesan garang. Rasanya tak hanya niat jelek manusia, bahkan arwah jahat pun akan lari ketakutan mendengar irama bertalu-talu itu sebelum mengusik harmoni kehidupan di bumi.
Dongkrek Berpadu
Kesenian ini disebut seni dongkrek bermula dari bunyi yang ditimbulkan oleh paduan dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Yakni bunyi dung berasal dari beduk atau kendang dan krek dari alat musik yang disebut korek. Alat musik korek ini berupa kayu berbentuk bujur sangkar, di satu sisinya ada tangkai kayu bergerigi yang bila digesek berbunyi krek. Dari perpaduan dua bunyi itulah lantas masyarakat menyebut kesenian ini dengan nama dongkrek.
Perpaduan bunyi itu digunakan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro untuk mengusir setan yang menimbulkan pageblug atau wabah dan bencana alam sekitar tahun 1867 di Mejayan. Kala itu, sebagian warga diserang wabah penyakit dan meninggal dunia dalam waktu singkat. Hasil pertanian dan ternak juga terjadi paceklik.
Namun, dalam perkembangannya kesenian dongkrek juga menggunakan komponen alat musik lainnya seperti gong besi, gong kempul, kenong, kentongan, dan kendang. Penggunaan alat musik ini dipengaruhi perpaduan antar budaya, seperti Islam, Cina, dan kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya.
Pada tiap pementasan dongkrek, ada tiga topeng yang digunakan para penari. Ada topeng raksasa atau buto, dalam istilah Jawa, yang bermuka seram. Ada topeng perempuan yang sedang mengunyah kapur sirih yang melambangkan cibiran, serta topeng orang tua sebagai lambang kebajikan.
Ketika atraksi digelar, kesenian ini menunjukkan fragmentasi pertarungan seru dalam kehidupan, antara kebaikan dan kejahatan. Ada orang bajik bertarung dengan buto yang hendak menusukkan keburukan. Ada pihak yang dengan tegas mencibir niat-niat jelek (wanita bertopeng). Sekelompok pihak lainnya mentahbiskan doa-doa keselamatan (pemusik). Dan begitu seterusnya, nyaris tanpa henti.
Alhasil, pada tiap pertempuran antara kebaikan dan kejahatan, kemenangan selalu menyertai kebajikan yang ditegakkan di muka bumi. Suro diro joyodiningrat, lebur dening pangastuti.
Langgam seni yang terdiri dari penari dengan bermacam bentuk dan pemusik itu lantas menjadi pakem seni dongkrek. Konon, pakem kesenian asli yang dikembangkan berdasarkan hasil penelusuran sejarah secara komprehensif dan mendalam, sehingga tidak boleh dicampur aduk agar generasi penerus memahami isi, maksud, dan tujuan pertunjukan kesenian dongkrek.
Karena, unsur penari topeng dan pemusik, masing-masing memiliki makna yang mendalam. Penari topeng buto melambangkan kejahatan dan ketiga penari lainnya melambangkan kebaikan. Sedangkan, semua musik melambangkan harmoni, keserasian, kebersihan hati serta menolak segala bentuk musibah dan keburukan.
Kalaupun pada perkembangannya ada modifikasi, semata untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat kekinian. Modifikasi itu, misalnya, unsur penari yang semula terdiri dari tiga atau empat orang dikembangkan menjadi delapan orang. Satu penari buto sekarang menjadi empat penari, dan kadang ditambah dengan penari anak-anak. Penari dewasa dan dua wanita tetap seperti aslinya. Penari dan pemusik kesenian ini pun berkembang dan membutuhkan sekitar 20-25 pemain pada setiap penampilan.
Tambahan penari dan alunan musik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman diperlukan untuk mengembangkan seni dongkrek. Sebab, jika tidak ada campurannya, seni dongkrek tidak akan mampu menyedot minat masyarakat. "Adopsi dan tambahan jumlah penari dan alunan musik itu supaya seni ini tetap diterima masyarakat sekaligus tidak monoton dan membosankan.
Studi Pustaka
Berdasar studi pustaka, seni dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di Mejoyo atau Mejayan, nama kuno dari Kecamatan Caruban. Kesenian itu lahir di masa kepemimpinan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro yang menjadi demang (jabatan setingkat kepala desa) yang membawahi lima desa. Kesenian dongkrek, bisa dibilang, mengalami masa kejayaan antara 1867-1902. Setelah itu, perkembangannya pasang surut. Sebagaimana kesenian lainnya, seni dongkrek juga rentan dipengaruhi kondisi politik yang berkembang masa itu. Pada masa kolonial, kesenian dongkrek sempat dilarang oleh pemerintahan Belanda untuk dijadikan pertunjukan kesenian rakyat. Demikian pula saat Jepang berkuasa, kesenian dongkrek tidak bisa hidup karena dilarang oleh tentara Dai Nippon. Saat kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1965, pun kesenian dongkrek tenggelam karena kalah pamor dengan kesenian genjer-genjer yang dikembangkan PKI.
Menurut catatan Andri, pada 1973 seni dongkrek mulai digali dan dikembangkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi Jawa Timur. Pada 1980, diadakan garap tari oleh Suwondo, Kepala Seksi Kebudayaan Kabupaten Madiun. Catatan lain tertulis, pada era 1979, tepatnya pada masa pemerintahan Bupati Madiun Kadiyono, kesenian dongkrek mulai dibangkitkan. Saat itu, dilakukan upaya merekonstruksi sejarah dan pakem dongkrek melalui penelusuran dan studi dokumentasi. Sayangnya, perkembangan kesenian ini masih tersendat karena kalah pamor dengan kesenian modern. Akibatnya, eksistensi kesenian dongkrek berada di ujung tanduk.
Selain itu, minimnya minat masyarakat untuk mengembangkan kesenian tradisional tersebut, turut memperpuruk seni dongkrek. Akhirnya, hanya ada beberapa kelompok seni saja yang masih melestarikan kesenian ini. Hanya generasi tua saja yang menjadi pelaku utama kesenian ini.
Sejak 2002, Andri termasuk pihak yang tak henti-henti meminta agar semua pihak, termasuk Pemerintah Kabupaten Madiun membantu pengembangan seni dongkrek. Sebab, menurutnya, seni ini sudah mulai populer lagi. Kelompok seni dongkrek Condro Budoyo yang digawanginya, misalnya, sudah berkali-kali tampil di berbagai festival seni di Surabaya, Solo, Jogjakarta, Malang hingga di Jakarta.
Menurutnya, seni dongkrek saat ini justru kondang di luar Kabupaten Madiun. Hal itu terlihat dari sejumlah pertunjukan dan undangan yang selama ini dipertunjukkan. Kelompok Seni Dongkrek Condro Budoyo, misalnya, bahkan sudah pernah tampil di Istana Merdeka Jakarta untuk mengisi acara Gita Nantya Nusantara atau Pawai Budaya Nusantara tahun 2005 lalu.
Beberapa festival seni yang telah diikuti di antaranya, Festival Bonraja, Festival Sri Wedari, Festival Wayang, dan Festival Bengawan Solo. Sedangkan di Surabaya, mengikuti Festival Cak Durasim, Festival Kesenian Rakyat dan Festival Topeng. “Dulu dongkrek hanya di Madiun saja.
Tanda Karya Raden Ngabei Tarian dan irama seni dongkrek lahir dari wangsit hasil lelaku sang demang yang empati terhadap nasib rakyatnya.
Saat Raden Bei Lo Prawirodipuro menjabat demang atau palang (jabatan setingkat kepala desa) di Mejoyo atau Mejayan, kini menjadi Caruban Madiun, pernah dirundung sedih karena rakyatnya sedang ditimpa musibah. Wabah penyakit yang menyerang dusun Mejayan, waktu itu, sangat berbahaya dan memilukan. Betapa tidak, siang terserang sakit sore hari meninggal dunia. Atau pagi sakit malam hari meninggal dunia. Sebagai pemimpin, Raden Prawirodipuro merenung dan mencoba menemukan cara untuk mengatasi wabah penyakit yang menimpa rakyatnya. Lalu ia lelaku, meditasi dan bertapa di wilayah gunung kidul Caruban. Ia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian yang bisa mengusir bala tersebut.
Dalam wangsit itu tergambar, para punggawa kerajaan roh halus atau pasukan gondoruwo yang menyerang penduduk Mejayan dapat diusir dengan menggiring mereka keluar dari desa. Wangsit itu kemudian direalisasikan dan dibuatlah semacam kesenian yang melukiskan fragmentasi pengusiran arwah jahat yang membawa pagebluk tersebut.“Komposisi para pemain fragmen satu babak pengusiran roh halus tersebut terdiri dari barisan buto kolo, orang tua sakti dan kedua perempuan tua separuh baya. Para perempuan sebagai simbol pihak yang posisinya lemah sedang dikepung oleh para pasukan buto kolo dan ingin membunuh perempuan tersebut. Lalu muncullah lelaki tua dengan tongkatnya mengusir barisan arwah jahat dan menjauhkannya dari para perempuan tersebut,” jelas Andri Suwito, Ketua Grup Seni Dongkrek Condro Budoyo Madiun. Kemudian, melalui peperangan yang cukup sengit, antara rombongan buto kolo dengan orang tua sakti, dimenangkan oleh orang tua tersebut. Akhirnya, orang tua sakti dapat menyelamatkan kedua perempuan dari ancaman para buto kolo. Rombongan buto kolo itu bahkan menjadi patuh terhadap kehendak orang tua sakti. Orang tua yang didampingi dua perempuan kemudian menggiring pasukan buto kolo keluar dari Desa Mejayan dan sirnalah pagebluk yang menyerang rakyat selama ini. Tradisi ini pun menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat Caruban, Madiun dengan sebutan “dongkrek”.

Paguyuban Dongkrek “Krido Sakti” :
Pimpinan Bpk. Durakim
Jl. Prawirodipuran No.25,
Ds. Mejayan, Kec. Mejayan,
Caruban - Madiun
Telp. 0351-383431